Senin, 25 Mei 2015

Analisis Latar Belakang Skripsi “Hubungan Antar Lembaga Negara”



Paham absolutism muncul dilatar belakangi oleh pemisahan kekuasaan negara di negara – negara barat. Paham absolutism ini dibntuk oleh Stuart di Inggris dan Louis XIV di Perancis. John Locke (1632 – 1711) seorang filsof inggris melalui bukunya two Treatieses on Civil Government (1690) mengemukan sebuah doktrin mengenai pemisaahan kekuasaan. Doktrin yang diungkapkan kepaa raja – raja Stuart berisi tentang suatu prinsip normative bahwa kekuasaan – kekuasan negara sebaiknya tidak diserahkan pada orang yang sama untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. Dengan demikian hak asasi warga negara lebih terjamin. Menurut Locke, kekuasaan negara dibagi dalam tiga kekuasaan yang terpisah satu sama lain yaitu kekuasaan legislatif sebagai pembuat hukum; eksekutif sebagai pelaksana hukum sekaligus mengadili para pelanggar hukum dan federatif yang berkuasa mengatur perang dan damai, liga dan aliansi, dan semua transaksi yang melibatkan komunitas masyarakat di luar negeri.
Pemerintahan Louis XIV juga mengalami kondisi yang sama, dimana Louis adalah sosok penguasa monarki absolute yang terkenal dengan ”L`etat c`est moi” (aku adalah negara). Sistem monarki yang dibangun oleh Louis XIV adalah dengan melemahkan peranan parlemen dan menyerap seluruh bentuk kekuasaan melalui keputusan eksekutif. Tetapi pemerintahan Louis yang seperti itu ternyata banyak dikritik oleh filsof, salah satunya adalah Charles Louis de Secondat de la Brede et de Montesquieu (1689 – 1755), seorang filosof sekaligus politikus Perancis yang mengemukakan konsep pemisahan kekuasaan melalui bukunya L`Esprit des Lois (Jiwa Hukum) (1748).Menurut Montesquieu, kekuasaan negara terpisah dalam tiga bagian diantaranya Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif (Judicial).Mengenai hubungan antar ketiga lembaga tersebut, Montesquieu menekankan pada pemisahan secara mutlak satu sama lain, baik mengenai tugas atau fungsi maupun mengenai alat perlengkapan atau organ yang melakukannya.
Hubungan antar lembaga negara secara substansial telah berlangsung begitu pesat antar embaga pada masa Khulafa al- Rasyidin (632-661). Para khalifa tidak serta merta memutuskan sesuatu hanya dilihat dari peraturan pemerintah dan undang – undang tetapi dengan melakukan musyawarah juga terhadap kaum cendikiawan dan muslimin. Dan meskipun para hakim diangkat berdasar keputusan para Khulafa, namun para hakim itu memiliki kebebasan dari segala ikatan dan tekanan, kecuali ketakwaan pada Allah swt, ilmu dan nurani mereka. Sehingga mereka memperlakukan khalifah seperti salah seorang diantara rakyat awam dan mengadili mereka apabila ada perkara yang dihadapkan melawan mereka. Dan setelah berlalunya masa Khulafa al-Rasyidin, konep usyawarah tidak lagi menjadi salah satunya jalan pemerintahan. Dan bila penguasa mengadakan musyawarah, maka peserta musyawarah bukanlah kaum pemikir yang dipercayai oleh umat keahlian dan keteguhan agamanya, namun hanya terdiri dari para keluarga kerajaan atau pejabat-pejabat istana. Pada masa Umayah(661-743) misalnya, fungsi eksekutif dan yudikatif menjadi satu dalam diri khalifah sehingga khalifah memiliki otoritas penuh untuk mengendalikan kekuasaan peradilan.
Keadaan serupa tidak jauh berbeda dalam masa Dinasti Umayah di Damaskus sampai dengan tahun 1924 setelah lembaga khalifah di Turki dihapus. Bentuk monarki ini adalah monarki absolute, dan Turki Usman merubah system monarki absolute ke monarki konstitusional yang berfungsi membatasi kekuasaan eksekutif yang absolute. Pada pertengahan abad ke-20, seorang ulama besar sekaligus politikus dari negeri metamorfosis India-Pakistan, Abul A`la al-Maududi (1903-1979), menyegarkan kembali wacana politik Islam melalui The Islamic Law and Constitution yang berisi kumpulan berbagai ceramah beliau; dan al-Khilafah wa al-Mulk yang berisi   tinjauan kritis atas praktek pemerintahan Islam khususnya pada masa Umayah dan Abbasiyah.
Liga Muslim India menyerukan pembagian India dan pembentukan Pakistan sebagai negara muslim yang terpisah. Liga Muslim ini terdiri dari Muhammad Iqbal (1873-1938) dan Muhammad Ali Jinnah (1876-1948). Dan disisi lain Abdul Kalam Azad (1888-1958) dari Partai Kongres dengan gigih mendukung gabungan Muslim-Hindu dalam gerakan Nasionalisme India dengan membentuk negara India yang merdeka, bersatu dan sekuler. Abul A`la al-Maududi menolak ddengan adanya nasionalisme, apalagi nasionalisme muslim . Karena menurutnya, nasionalisme adalah gejala dari barat yang berlawanan dengan Islam.
Meskipun sudah ada kejelasan tentang ideology dan lambang – lambang keagamaan sudah digunakan oleh Liga Muslim dalam pembentukan Pakistan, namun tidak ada pemahaman dan aplikasi yang jelas mengenai ideologi Pakistan. Permasalahan ini memunculkan pertanyaan-pertanyaan yang teramat sederhana: Apa yang dimaksud dengan pernyataan bahwa Pakistan itu negara Islam modern ataupun negara muslim modern? Bagaimana ciri Islam itu dicerminkan dalam ideologi dan lembaga-lembaga negara?. Dalam berbagai tekanan dan perdebatan itulah al-Maududi menguraikan berbagai permasalahan penting seputar prinsip-prinsip pembentukan negara Islam yang didalamnya juga disebutkan tentang berbagai lembaga negara dan hubungan yang terjalin antar lembaga tersebut. Lembaga-lembaga negara dalam suatu negara Islam terdiri dari ahl al-hall wa al-`aqd yang berfungsi sebagai pembuat Undang-Undang, Umara sebagai penegak Undang-Undang, dan Qadha sebagai pemutus perkara atau perselisihan yang terjadi dalam masyarakat. Montesquieu yang dengan konsep pemisahan kekuasaan mutlaknya melarang seorang hakim untuk ikut campur dalam kekuasaan legislatif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar